Rabu, 16 September 2015

INSERVICE-TRAINING AND UPGRADING

A.    PENDAHULUAN
Guru mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan kepribadian maupun pengalaman yang mereka peroleh. Semua perilaku atau kinerja dilakukan guru karena adanya dorongan atau motivasi baik dari guru sendiri maupun orang lain seperti dari kepala sekolah. Dengan demikian guru akan mampu mengelola pembelajaran secara lebih baik apabila mendapatkan motivasi baik dari guru itu sendiri maupun dari motivasi yang diberikan kepala sekolah.
Begitu juga Pembinaan dan usaha perbaikan pendidikan tidak mungkin berhasil tanpa disertai dengan pembinaan dan perbaikan mutu pengetahuan serta cara kerja para pelaksananya. Pengalaman-pengalaman praktik yang diterimanya dari latihan-latihan praktik mengajar yang sangat terbatas dan dalam waktu yang tidak lama, belum merupakan pengalaman yang cukup bermutu untuk memenuhi tugas-tugas dan tanggung jawabnya setelah keluar dari sekolah guru. Disinilah pendidikan atau latihan “in-service”, “pre-service serta “up-grading” perlu disadari dan mutlak dilaksanakan agar perbaikan mutu pengetahuan serta cara kerja pelaksananya dalam bidang pendidikan dapat meningkat.




B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Inservice-training And Upgrading?
2.      Mengapa perlu In-Service Training And Up-Grading dalam pendidikan?

C.    PEMBAHASAN
a.       Inservice-training
Sebelum membahas lebih lanjut tentang inservice training menurut hemat penulis alangkah baiknya kita membahas lebih dahulu tentang pre-service training, walaupun dalam judul tidak kami tulis namun ini sangat penting, karena sebelum melalui tahapan inservice training (pendidikan dalam jabatan) seorang guru pastinya melalui tahap yang disebut dengan pre-service training (pendidikan pra-jabatan).[1]
Inservice-training dalam bahasa Indonesia sering disebut pendidikan dalam jabatan. Istilah lain yang juga dipergunakan ialah Upgrading atau penataran dan inservice education yang pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Inservice-training diberikan kepada guru-guru yang dipandang perlu meningkatkan ketrampilan/pengetahuannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang pendidikan.
Seorang guru pada dasarnya sudah dipersiapkan melalui lembaga pendidikan guru sebelum terjun kedalam jabatannya. Pendidikan persiapan itu disebut pre-service education sebagaiman penulis paparkan di atas. Diantara mereka banyak yang sudah cukup lama meninggalkan pre-service education dan bertugas dilingkungan yang tidak memungkinkan untuk mengikuti berbagai perkembangan dan kemajuan. Disamping itu banyak pula mereka yang memang tidak berusaha untuk berkembang didalam meningkatkan kemampuan sebagai guru/pendidik dan tenggelam dalam kegiatan mengajar secara rutin. Untuk mengejar ketinggalan itu agar guru selalu up to date dalam menjalankan tugas-tugasnya diperlukan inservice-training secara terarah dan berencana. Penyusunan program inservice-training dan berusaha mewujudkannya merupakan bagian dari kegiatan supervisi.
Sejalan dengan uraian diatas inservice-training dapat diartikan sebagai usaha meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam bidang tertentu sesuai dengan tugasnya, agar dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas dalam melakukan tugas-tugas tersebut.[2]

Pendidikan pra-jabatan  atau “pre-service” merupakan fase mempersiapkan tenaga-tenaga kependidikan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan sebelum bertugas atau berdinas. Misalnya semasa  belajar di SPG atau kuliah di IKIP. Setelah mulai bertugas sebagai guru, ia tidak boleh statis tetapi ia harus dinamis yaitu harus ikut berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada umumnya, khusunya dibidang profesi keguruan atau kependidikan. Ia harus berkembang sambil menunaikan tugasnya. Untuk mengembangkan profesi atau kecakapan dalam masa jabatannya ini diperlukan pendidikan atau latihan “inservice”.[3]
Pendidikan “Inservice” (dalam jabatan) atau latihan-latihan semasa berdinas, dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan secara kontinu pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan dan sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga kependidikan  lainnya  guna mengefektifkan dan mengefesiensikan pekerjaan/jabatannya.  Program pendidikan atau latihan tersebut dapat diselenggarakan secara formal oleh pemerintah, berupa penataran-penataran atau lokakarya-lokakarnya baik secara lisan atau tertulis, dapat pula diselenggarakan secara informal oleh yang berkepentingan baik secara individual, maupun secara berkelompok.
Menurut gagasan supervisi modern, inservice-training atau pendidikan dalam jabatan merupakan bagian yang integral dari program supervisi yang harus diselenggarakan oleh sekolah-sekolah setempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan memecahkan persoalan-persoalan sehari-hari yang menghendaki pemecahan segera. Program inservice-training atau refreshing ini dipimpin oleh pengawas setempat sendiri atau dengan bantuan para ahli dalam lapangan pendidikan.[4]

Program inservice-training dapat melingkupi berbagai kegiatan seperti mengadakan kursus, aplikasi, ceramah-ceramah, workshop, seminar-seminar, mempelajari kurikulum, survai masyarakat, demonstrasi-demonstrasi mengajar menurut metode-metode baru, fieldtrip, kunjungan-kunjungan ke sekolah-sekolah diluar daerah, dan persiapan-persiapan khusus untuk tugas-tugas baru.
Kepemimpinan dalam perencanaan program-program inservice-training termasuk tanggung jawab para pejabat supervisi. Akan tetapi, perencanaannya sendiri dijalankan secara kerja sama dengan guru-guru.
Demikianlah jika kita simpulkan, inservice-training ialah segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas pendidikan (pengawas, kepala sekolah, penilik sekolah, guru dsb), yang bertujuan untuk menambah dan mempertinggi mutu pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman guru-guru dalam menjalankan tugas kewajibannya.[5]

b.      Upgrading
Pengertian upgrading (penataran) sebenarnya tidak berbeda jauh dengan inservice-training. Upgrading ialah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk meninggikan atau meningkatkan taraf ilmu pengetahuan dan kecakapan para pegawai, guru-guru, atau petugas pendidikan lainnya, sehingga dengan demikian keahliannya bertambah luas dan mendalam.
Perbedaannya yang agak jelas antara inservice-training dan Upgrading ialah, Upgrading lebih memilki cifil-efect pada pekerjaan atau jabatan pegawai yang di upgrade. Umpamanya: dapat menjadikan pegawai yang tidak berwenang menjadi berwenang, berlaku untuk kenaikan tingkat atau jabatan, dan mempertinggi pengetahuan dan keahlian.


Dilihat dari luasnya pengertian yang terkandung didalamnya, inservice-training mengandung pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan upgrading.Upgrading termasuk kedalam pengertian inservice-training. Kegiatan-kegiatan lain yang juga dapat dimasukkan kedalam pengertian inservice-training antara lain ialah refreshing, staftraining, workshop (sanggar kerja), seminar, rapat kerja, konferensi kerja  dsb. [6]
Contoh upgrading yang biasa berlaku di kalangan guru-guru dan petugas-petugas lainnya antara lain : memberi kesempatan kepada guru-guru SD yang berijazah SGB atau yang sederajat untuk mengikuti SGA/SPG; memberi kesempatan atau tugas belajar kepada guru-guru SLP yang berijazah SGA/SPG atau yang sederajat untuk mengikuti kursus PGSLP atau mengikuti kuliah di IKIP  sehingga menjadi guru yang berwenang mengajar di SLP; memberi kesempatan atau tugas belajar kepada guru-guru SLA yang berijazah BI/sarjana muda, untuk mengikuti kuliah guna mencapai tingkat sarjana; memberi kesempatan kepada pegawai administrasi (tata usaha) yang memilki ijazah SLP  untuk mengikuti KPAA (Kursus Pegawai administrasi Tingkat Atas), dan sebagainya.
Inservice-training dan Upgrading keduannya merupakan fungsi-fungsi kepemimpinan dan supervisi pendidikan modern, yang mulai mendapat perhatian di kalangan pendidikan dan pengajran di negeri kita.

c.       Perlunya Inservice-training dan Upgrading dalam pendidikan
Persiapan calon-calon guru selama di sekolah guru –baik ia dari sekolah SGB, SGA/SPG, maupun dari FKIP atau IKIP-belumlah merupakan persiapan-persiapan yang cukup lengkap jika ditinjau dari tugas kewajibannya sebagai pendidik yang sangat luas setelah keluar dari sekolah itu. Persiapan-persiapan yang diterima di sekolah guru, waktu dan luasnya sangat terbatas; juga sebagian besar merupakan persiapan yang bersifat teoritis. Pengalaman-pengalaman praktek yang diterimanya dari latihan-latihan praktek mengajar sangat terbatas dan dalam waktu yang tidak lama, belum merupakan pengalaman yang cukup bermutu untuk memenuhi tugas-tugas dan tanggung jawabnya setelah keluar dari sekolah guru. Banyak hal yang harus diperbuat dan dilakukan oleh guru yang belum sempat atau tidak dipelajarinya di sekolah guru.
 Ini semua merupakan motif-motif yang mendorong keharusan adanya pendidikan tambahan bagi guru-guru muda di sekolah-sekolah tempat mereka bekerja jika mereka hendak menjadi guru yang cakap. Demikian pula guru-guru yang lebih tua sama-sama perlu akan pendidikan dalam jabatan itu, yang disebut dengan inservice-training.
Sebab-sebab perlunya inservice-training, disamping pendidikan persiapan (pre-service training) yang kurang mencukupi, juga banyak guru yang banyak guru yang telah keluar dari sekolah guru tidak pernah atau tidak dapat menambah pengetahuan mereka sehingga menyebabkan cara kerja mereka yang tidak berubah-ubah, itu-itu saja dan begitu-begitu saja tiap tahun selama belasan tahun mereka bekerja. Mereka tidak mengetahui dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan negara.
Sebab lain mengenai perlunya inservice-training atau Upgrading ialah suatu kenyataan bahwa karena kebutuhan yang sangat mendesak, pemerintah mengangkat guru-guru yang tidak dipersiapkan untuk menjadi guru sebelumnya, baik sebagai guru SD maupun sebagai guru SLP atau SLA. Bagi mereka ini inservice-training atau Upgrading mutlak diperlukan.
Sebab yang lain lagi ialah adanya program dan kurikulum sekolah yang harus selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan kebudayaan. Untuk dapat mengimbangi perkembangan itu, pengetahuan dan cara bekerja guru-guru harus berkembang pula.


D.    SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat penulis beberapa simpulan sebagaiman berikut :

1.      Inservice-training dan upgrading merupakan salah satu fungsi kepengawasan (supervisi) yang sangat penting.
2.      Seorang guru pada dasarnya sudah dipersiapkan melalui lembaga pendidikan guru sebelum terjun kedalam jabatannya. Pendidikan persiapan itu disebut pre-service education
3.      inservice-training ialah segala kegiatan yang diberikan dan diterima oleh para petugas pendidikan
4.      Sebab-sebab perlunya inservice-training, disamping pendidikan persiapan ( preservice training) yang kurang mencukupi, juga banyak guru yang telah keluar dari sekolah guru tidak pernah atau tidak dapat menambah pengetahuan mereka sehingga menyebabkan cara kerja mereka tidak berubah-ubah, itu-itu saja dan begitu-begitu saja

E.     PENUTUP
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Penulis sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kontribusi kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kemajuan penulis dan pembaca pada umumnya.

Minggu, 06 September 2015

ARTI SEHAT, SAKIT DAN PENYAKIT

ARTI SEHAT, SAKIT DAN PENYAKIT

ARTI SEHAT, SAKIT DAN PENYAKIT
Sehat menurut WHO (World Health Organization) adalah keadaan sehat badan, mental (rohani), dan sosial, bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit dan cacat semata. Maksudnya, jasmani, rohani dan sosial ekonominya dalam keadaan sempurna tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan.
Sakit adalah suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) dalam segi mental atau fisik atau suatu penderitaan yang disababkan oleh gangguan fungsional, penyakit atau keturunan.
Penyakit adalah suatu peralihan dari keadaan sehat ke suatu kondisi abnormal dari bagian tubuh/jiwa.
Definisi Sehat dan Kesehatan
Ada 2 (dua) macam sehat, yaitu :
Ø Sehat secara anatomis.
Yaitu, dimana anggota tubuh seseorang dalam keadaan lengkap atau tidak menyandang cacat.
Ø Sehat secara fisiologis.
Yaitu, dimana fungsi organ-organ tubuh (jantung, paru-paru, ginjal, dsb) seseorang masih berfungsi dengan baik.
A. Menurut UU No. 9 Tahun 1960 Bab I Pasal 2, Tentang pokok-pokok kesehatan.
Kesehatan badan, rohani (mental), dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
B. Menurut UU No. 3 Tahun 1966 Pasal 1,
Kesehatan Rohani adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang, dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain.
C. Menurut UU No. 9 Tahun 1960 Pasal 3,
Kesehatan Sosial adalah peri kehidupan dalam masyarakat, peri kehidupan ini harus sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memiliki cukup kemampuan untuk memelihara dan memajukan kehidupan sendiri, serta kehidupan keluarga dalam masyarakat yang memungkinkan bekerja, istirahat dan menikmati hiburan pada waktunya.
Kehidupan Pribadi
Keluarga
Bekerja-Masyarakat
Istirahat-Rekreasi
Bagan 02. 01. Kesehatan Sosial
D. Menurut Parson (1972).
Sehat adalah kemampuan melaksanakan peran dan fungsi dengan efektif.
E. Menurut Dubois (1978).
Kesehatan adalah proses yang kreatif dimana individu secara aktif dan terus menerus mengadaptasi lingkungan.
F. Menurut Paplau H.
Kesehatan adalah proses yang berlangsung mengarah kepada kreatifitas, konstruktif, dan produktif.
G. Menurut Oream E. D.
Kesehatan adalah keadaan integritas individu.
Pemeliharaan diri secara umum merupakan dasar untuk berfungsi secara optimal.
H. Menurut King M. E.
Kesehatan adalah keadaan yang dinamis dalam siklus hidup dan memperoleh adaptasi terus menerus terhadap stress.
I. Menurut Hendric L. Blum (1974).
Ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi kesehatan, yaitu :
Ø Lingkungan
Ø Perilaku
Ø Pelayanan kesehatan
Ø Keturunan
Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan
Down Arrow: Keturunan








Right Arrow: Pelayanan Kesehatan
Left Arrow: Lingkungan : fisik, sosial ekonomi, budaya



Up Arrow: Perilaku
Oval: Status Kesehatan

Gambar 02.01. Faktor yang mempengaruhi kesehatan
Empat faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap kesehatan, dan saling berpengaruh satu dengan yang lain.
Status kesehatan seseorang bisa optimal bila keempat faktor tersebut juga optimal. Jika satu faktor terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan seseorang bergeser dibawah optimal.

Jumat, 28 Agustus 2015

Kumpulan Kata Kata Bijak Motivasi


Betapa pun gelapnya hidupmu, sesungguhnya kesempatan untuk menjadi lebih baik dan lebih berbahagia selalu ada di dekatmu.
Kamu tidak harus menunggu tahun berganti untuk jadi pribadi yang lebih baik. Kamu memiliki kemampuan untuk berubah, kapanpun kamu mau!
Tidak pernah ada kata terlalu terlambat untuk memulai. Begitu juga untuk mengakhiri.
Hidup bukan tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan, tapi tentang menghargai apa yang kamu miliki, dan sabar menanti apa yang akan menghampiri.
Jangan pernah menyalahkan orang lain dalam kehidupanmu, Sebab orang yang baik membuatmu bahagia, orang jahat membuatmu belajar dan orang yang terbaik membuatmu mengingatnya.
Dengan diam, belajarlah mengenali diri sendiri dan mengetahui bahwa segala sesuatu dalam hidup ini memiliki tujuan.
Bahagia itu akan menjadi sangat sederhana, bila kita selalu menghargai apa yang telah diraih walau sekecil apapun.
Jangan terlalu memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Tak peduli bagaimana kamu merencanakannya, rencana Tuhan akan selalu lebih baik dari rencanamu.
Dalam setiap kisah sukses, Anda akan menemukan seseorang yang telah mengambil keputusan dengan berani.
Jika kamu gagal, jangan tangisi keadaan. Tangisilah harapan yang tak kau perjuangkan.
Ambil pelajaran dari masa lalu, tinggalkan sisanya. Jangan biarkan belenggu kesedihan menutup jalanmu menuju masa depan.
Hati akan menemukan kedamaiannya saat kita mampu memaafkan. Jadilah pribadi yang anggun diatas ketulusan.
Kemenangan yang paling indah adalah bisa menaklukkan hati sendiri.
Berharap itu bukan hanya diam, tapi tetap berdoa dan berusaha. Impian bukan untuk ditunggu, tapi juga dijemput.
Jangan memulai hari dengan penyesalan hari kemarin, karena akan mengganggu kebesaran hari ini, dan akan merusak keindahan hari esok.
Tidak ada jaminan kesuksesan, namun tidak mencobanya adalah jaminan kegagalan.
Berusahalah untuk bersabar dengan segala hal. Namun yang terpenting adalah bersabar dengan dirimu sendiri.
Teman adalah bukan mereka yang menghampirimu bila diperlukan, tetapi mereka yang bertahan ketika seluruh dunia menjauh.
Setiap perbuatan yang membahagiakan sesama adalah suatu sikap yang mencerminkan pribadi yang mulia.
Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah keyakinan bahwa kita dicintai oleh orang yang kita cintai.
Jangan pernah mempercayai seseorang yang hanya berkata tapi tak pernah berbuat. Karena ia akan mudah ingkar janji semudah ia berucap janji.
Hidup tak akan indah jika semua sama. Dan perbedaan adalah untuk saling melengkapi, bukan untuk saling membenci.

Kamis, 27 Agustus 2015

                   PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIF

• Metode penelitian kuantitatif berlandaskan pada filsafat
positivisme
• Filsafat positivisme memandang realitas/gejala/fenomena
itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati,
terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat.
• Digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu
• Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian
• Analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk
menguji hipotesis yang telah ditetapkan.



               PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF

• Pendekatanpenelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme
• Filsafat postpositivisme sering juga disebut
sebagai paradigma interpretif dan konstruktif
• Memandang realitas sosial sebagai sesuatu
yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh
makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif
(reciprocal = timbal balik).



PERBANDINGAN PENDEKATAN KUANTITATIF &
PENDEKATAN KUALITATIF


• Pendekatan kuantitatif sering
disebut pendekatan tradisional
• Berlandaskan filsafat
positivistik
• Metode scientific
• Metode konfirmasi
• Kuantitatif
• Pendekatan kuantitatif sering
dinamakan metode tradisional,
positivistik, scientific


• Pendekatan kualitatif sering
disebut pendekatan baru;
• Pendekatan postpositivistik;
• Metode artistik,
• Metode temuan;
• Interpretif.
• Metode discovery.

Pengertian Paradigma Dalam Penelitian Kuantitatif

PENELITIAN POSITIVISTIK


Sejarah Positivistik
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang abstrak”.
Auguste Comte, atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 – 1857), pendiri aliran filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil. Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah “positif” adalah suatu istilah yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1.      Tahap teologi atau fiktif
      Tahap ini merupakan tahap pertama atau awal setiap perkembangan jiwa atau masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja , melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.       Fetisyisme/animisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, pohon, batu dan lain lain.
b.      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia. Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda, gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing. Akibatnya, demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c.       Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang dianut manusia.
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Dogma-dogma agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena itulah dalam tahap metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di satu pihak pengaruh  
Paradigma Positivistik
Secara etimologis historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras filsuf Perancis Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan manusia dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan inderawi empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah pun dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah positivistik atau melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi.
Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan rerata tersebut.
Kata kunci positivisme yang penting adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh pengalaman indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya: seseorang pada akhirnya berkesimpulan dan itu “benar”, bahwa logam apapun jenisnya akan memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada pengujian terhadap berbagai jenis logam yang memuai saat dipanaskan. Penemuan bukti bahwa logam tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat umum, berawal pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan seperti ini disebut sebagai penalaran induktif. Cara penalaran ini merupakan proses yang diawali dari fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju ke arah yang lebih umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh lainnya: Ayam hitam yang kita amati mempunyai hati. Ayam putih yang diamati juga mempunyai hati. Kesimpulannya adalah setiap ayam mempunyai hati.
Filsafat positivistik memberikan pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian dasar, demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui metode yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik sebagai berikut:
1.      Keyakinan bahwa suatu teori memiliki kebenaran yang bersifat universal.
2.      Komitmen untuk berusaha mencapai taraf “objektif” melalui fenomena.
3.      Kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat.
4.      Kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Pendekatan Positivistik dalam Penelitian
Gejala alam maupun gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur. Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa menjalankan peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan secara sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan diverifikasi. Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara positivistik.
Positivistik sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah membangun teori secara handal.
Pendekatan positivistik mewarnai paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka mencapai kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting objektivitas dan validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme penelitian saat ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menekankan objektivitas secara universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.      Menginterpretasi variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka.
3.      Memisahkan peneliti dengan objek yang hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang hendak diteliti.
4.      Menekankan penggunaan metode statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Penelitian dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua, spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)
Penelitian Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik
Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif  merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat.
Dalam metode kuantitatif, setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada penggunaan paradigma positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif.
Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu :
1.   Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
2.   Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3.   Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1.      Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil  penelitian terdahulu”.
2.      Analisis, sintesis dan refleksi
Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.      Fakta obyektif
a.    Variabel
Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.
b.   Eliminasi data
Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti.
c.    Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.      Argumentasi
a.    Fungsi parameter
Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat).
b.   Populasi
Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti.
c.    Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama.
5.      Realitas
a.    Desain standar
Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.
b.   Uji kebenaran
Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya.
Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
Kritik Positivistik
Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar. Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata diramalakan (unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1.      Kehendak bebas manusia yang unik
2.      Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk hukum
3.      Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial
Dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik, dengan konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metode yang melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi dan  tidak memunculkan teori-teori baru yang mendasar. Sebagai akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami stagnasi.

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi.2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Hamami, Tasman, et al. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Denzin, Norman K, et al. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Slamet, Yulius . 2008 . Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Widodo, T. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS
http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/167-perbedaan-paradigma-positivism-dan-interpretivism.html diunduh pada tanggal 12 September 2012
Hanurawan, Fattah. 1998. Pendekatan Positivistik, Interpretif, dan Kritis dalam Penelitian Pendidikan. Forum Penelitian Pendidikan 10, 3-16